Penulis : Sri Rajasa Chandra, M.BA
Sore itu semilir angin sejuk menerpa daun-daun pinang dipelataran taman rekreasi Kebun Wisata Permai di Nisam Antara Aceh Utara milik Gumarni Affan SH MH, seorang pemuda kreatif yang saat ini menjadi Ketua Persatuan Pemuda Nisam Antara. Setelah menunggu beberapa saat, terlihat seseorang dari kejauhan menggunakan celana jeans dan kaos biru, berjalan agak bergegas menuju ke lobby Kebun Wisata Permai, tempat kami duduk. Assalamualaikum Bang, sudah lama nunggu ya..? suara Mualem menyapa kami dengan wajah yang menyiratkan persaudaraan. Sekalipun sudah cukup lama tidak jumpa Mualem, tapi ada hal yang tidak pernah berubah dari sosok mualem, adalah kesederhanaan dalam penampilan dan tutur kata.
Pertemuan dengan Mualem yang didampingi Gumarni (Ketua Sahabat Mualem) kali ini, dikemas dalam format wawancara ekslusif dalam rangka memperkaya wawasan rakyat Aceh yang diserap dari pemikiran dan pernyataan para tokoh Aceh, tentang kompleksitas problematik yang sedang dihadapi rakyat Aceh. Kita ketahui bahwa realitas yang dihadapi rakyat Aceh hari ini adalah persoalan kemiskinan dan pemenuhan lapangan kerja. Fenomena ironi social ekonomi yang tak kunjung selesai, walaupun kita tahu suntikan dana otsus yang begitu fantastis untuk Aceh, namun tidak didukung oleh profesionalitas tata kelola pemerintahan dan keuangan Aceh, berakibat arah pembangunan tidak tepat sasaran dan kebocoran keuangan Aceh tak terbendung.
Pada bincang-bincang sore dengan Mualem, terlontar pertanyaan apa yang sesungguhnya sedang dihadapi rakyat Aceh. Sambil menikmati minuman Jahe khas Kebun Wisata Permai, Mualem membuka pembicaraan dengan kalimat “ sedih melihat orang Aceh”, mereka selalu tersisih dan hanya menjadi objek dari pembangunan Aceh. Sektor pertanian, perikanan dan perkebunan yang menjadi tumpuan sebagian besar rakyat Aceh, masih sedikit sekali mendapat sentuhan anggaran yang digelontorkan melalui APBA. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa sasaran pembangunan di Aceh belum merefleksikan rasa keadilan dan pemerataan, bahkan pos-pos anggaran pembangunan di titik beratkan pada proyek-proyek yang dapat memberi rente kepada pemangku kebijakan. Persoalan ini perlu mendapat penanganan secara terukur dan segera, karena menyangkut hajat hidup rakyat.
Lagi-lagi kami menyerutup minuman jahe yang segar, disela-sela perbincangan yang agak serius. Lantas apa yang melatarbelakangi carut marut persoalan pembangunan di Aceh yang memberi dampak sangat luas terhadap kesejahteraan rakyat Aceh, menjadi pertanyaan berikutnya kepada Mualem. Dengan mencoba keterbukaan, Mualem dengan tegas mengatakan “ini menyangkut moral pemimpin di Aceh”. Kita harus berani mencanangkan gerakan “revolusi moral” dilingkungan eksekutif, legislative dan yudikatif Aceh, jika ingin cita-cita damai yang mulia dapat kita raih. Mualem dengan jujur mengakui bahwa dirinya ikut bertanggung jawab atas carut marut persoalan Aceh di era damai, walaupun saat ini Mualem tidak berada di dalam inner circle kekuasaan.
Ketika ditanya soal kriteria pemimpin Aceh yang ideal dihadapkan oleh kompleksitas problematic Aceh, Mualem tanpa keraguan mengatakan, kedepan dibutuhkan pemimpin yang keberpihakannya hanya pada kepentingan kemaslahatan rakyat Aceh. Mualem juga menegaskan, tidak boleh lagi pemimpin membangun kroni-kroni untuk menguasai sector-sektor ekonomi strategis yang akhirnya hanya menciptakan kecemburuan social. Pemimpin harus berani mengambil inisiatif strategis disektor pemberdayaan ekonomi rakyat, dalam rangka membangkitkan sector ekonomi riil, agar rakyat tidak selalu bergantung pada proyek-proyek APBA. Disisi lain menurut Mualem, pemimpin harus memiliki pilihan strategis dalam membangun sentra-sentra industri, seperti misalnya Aceh tidak mungkin focus untuk membangun industry berat saat ini, pasti akan tidak mampu mengejar Sumut, tapi Aceh sangat berpeluang untuk membangun sentra industri pertanian atau perikanan/kelautan yang memiliki daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi rakyat.
Waktu terus beranjak malam, rasanya waktu berjalan sangat cepat sehingga pertemuan kali ini belum mampu mengusir rasa kangen kami. Diujung pertemuan ini, sempat terlontar pertanyaan apakah mulaem akan kembali bertarung pada Pilkada 2024..? dengan wajah yang tidak berubah ekspresi, secara diplomatis Mualem menjawab “jika rakyat menghendaki dan saya diberi kesehatan”, tidak ada alasan untuk saya menolak, karena saya harus menunai kewajiban damai Aceh.
Diakhir wawancara ekslusif ini, patut disampaikan ungkapan seorang kesatria “ Kami tidak akan bertanya berapa jumlah musuh, tapi kami akan tanya dimana mereka”.
Penulis adalah Pemerhati Aceh.