Medan | Tragedi penyerangan terhadap Aparat Keamanan dan juga masyarakat sipil di Tanah Papua oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sudah sangat brutal. Telah banyak nyawa manusia melayang sia-sia disebabkan kebiadaban KKSB atau sekarang dinamakan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibawah pimpinan Egiyanus Kogoya.
Tidak bisa dimengerti apa sebenarnya tujuan mereka melakukan teror dan menimbulkan kegaduhan-kegaduhan di Tanah Papua. Aksi mereka sudah semakin brutal dengan menyerang warga sipil termasuk tempat pelayanan publik seperti rumah sakit, sekolah, puskesmas, tempat ibadah dan bahkan menyerang markas aparat keamanan.
Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun lalu terjadi pembunuhan terhadap pekerja tol trans Papua Barat yang berasal dari berbagai wilayah di tanah air. Peristiwa ini terjadi pada akhir September 2022 lalu, dimana 14 pekerja proyek pembangunan Jalan Trans Papua Barat ditembak dan dibunuh secara sangat sadis oleh sekelompok orang yang diduga Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.
Penyerangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) terhadap 14 orang pekerja proyek pembangunan jalan Trans Papua Barat itu mengakibatkan empat orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka. Empat korban tewas adalah Abbas, Armin, Darmin, dan Yafet.
Selain itu, setahun sebelumnya, peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Tenaga Kesehatan (Nakes) di Papua yang dilakukan oleh kelompok ini juga sangat brutal. Aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua yang membunuh dan menganiaya tenaga kesehatan (nakes) di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, pada Senin (13/9/2021) menjadi sorotan. Peristiwa pembunuhan dan penganiayaan nakes merupakan rangkaian aksi KKB yang merusak sejumlah fasilitas umum di Distrik Kiwirok.
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) juga pernah membakar Gereja Kemah Injil Indonesia, Klasis Mimika, Jemaat Sinai di Kawasan Opitawak, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua pada Tahun 2018 silam.
Organisasi Papua Merdeka atau disingkat OPM merupakan organisasi yang selalu membuat onar di Tanah Papua. OPM memiliki sebutan lain dengan singkatan TPNPB atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
Kelompok ini sudah tidak bisa ditolelir lagi dan harus ditumpas habis secara represif.
Yang terakhir beberapa hari yang lalu, Penembakan Danramil 04 Aradide, Letnan Dua Infanteri Oktovianus Sogalrey yang melintas di daerah sepi di Kampung Pasir Putih, Kabupaten Paniai, Papua Tengah, pada Rabu (10/4/2024) sore. Oktavianus Sogalrey gugur ditembak OPM, yang diduga OPM sengaja mengintai Danramil 04 Aradide melintas untuk kemudian menghabisinya.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto angkat bicara soal pihaknya yang kini menyebut kelompok bersenjata di Papua dengan nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM. Jenderal Agus menegaskan pihaknya mengganti istilah kelompok tersebut lantaran tidak boleh ada negara di dalam suatu negara.
“Saya akan tindak tegas untuk apa yang dilakukan oleh OPM. Tidak ada negara dalam suatu negara!” kata Agus dalam jumpa pers di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/4/24).
menyikapi hal ini, Lembaga Kajian dan Riset Kombur Hukum Indonesia (komburhukum.id) turut prihatin atas rentetan tragedi kebrutalan OPM di Tanah Papua. Melalui salah seorang Founder Komburhukum.id, Fahrizal S.Siagian, SH menilai tindakan represif harus dilakukan terhadap OPM yang sangat biadab ini. Penindakan secara tegas merupakan wujud kedaulatan hukum dan keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan ini.
Fahrizal juga mengingatkan kembali bahwa OPM ini bukan lagi sebuah kelompok kriminal biasa. Akan tetapi, OPM ini sudah secara terstruktur baik aspek organisasi maupun aspek kulturnya. Maka, untuk menyikapi ini haruslah dilakukan secara sangat berhati-hati ekstra represif. OPM ini sudah memiliki struktur keorganisasian dan istilah kepangkatan di dalam tubuh organisasinya juga sudah sistematis.
Oleh karenanya, tidak boleh ada lagi yang menjadikan isu Hak Asasi Manusia sebagai alasan untuk tidak menindaktegas gerombolan OPM ini. Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Hak asasi manusia itu harus diperlakukan secara merata kepada semua pihak. Bukan saja bagi kalangan sipil, akan tetapi Prajurit Militer dan Anggota Kepolisian yang menjadi korban kebiadaban kelompok OPM ini juga harus dinilai dari aspek HAMnya. Hal ini wujud negara hukum adalah adanya prinsip equality before the law yang artinya persamaan hak di hadapan hukum atas dasar nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Demikian ucap Fahrizal saat dihubungi via Telepon, Sabtu, (13/4/24).
Konstitusi UUD 1945 juga telah menegaskan Indonesia sebagai negara hukum dan mengedepankan prinsip equality before the law yang berbunyi segala warga negara memiliki persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan serta wajib untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Maka, penerapan hak asasi manusia juga harus secara adil diterapkan bagi semua pihak termasuk terhadap korban dari kalangan aparat keamanan TNI POLRI yang menjadi korban.
Alasan berikutnya, pelanggaran hak asasi manusia apabila tindakan yang melanggar hak asasi manusia dilakukan secara TSM yakni terstruktur, sistematis, dan masif. Maka tindakan-tindakan OPM dari kurun waktu satu dekade terakhir ini sudah memenuhi kriteria disebut sebagai suatu tindakan pelanggaran Hak asasi manusia (HAM). Terstruktur, OPM sudah memiliki struktur keorganisasian dan kepangkatan di dalam tubuh organisasinya dan memiliki perananan serta fungsi masing-masing.
Sistematis, OPM melakukan aksinya sangat sistematis dalam hal penggunaan senjata dan latihan militernya. Kemampuan persenjataan mereka juga sangat baik. Maka OPM ini melakukan aksinya sangat sistematis. Selanjutnya yakni, Masif. OPM menjalankan aksinya secara beruntun secara brutal dan tidak manusiawi. Bisa dikatakan tiap tahun selalu ada kejadian korban jiwa melayang akibat ulah brutal OPM ini.
Tindak tegas secara represif dengan melakukan operasi militer dari darat dan udara dinilai perlu dilakukan. Selain itu, menghimbau kepada masyarakat sipil berhati-hati dan waspada tingkat tinggi apabila militer dan kepolisian menjalankan tugasnya. Masyarakat juga harus berperan aktif menciptakan suasana kondusif dan membantu aparat keamanan dalam menciptakan suasana keamanan dan ketertiban di Papua.
Fahrizal S.Siagian, SH selaku founder komburhukum.id dan penulis buku Ancaman Non-Militer Terhadap Ibu Pertiwi dari Perspektif Hukum, Sosial-Politik yang diterbitkan Tahun 2023 lalu, mengapresiasi pendekatan humanistik yang dilakukan TNI-POLRI di Papua. Humanistik itu dinilai perlu juga, akan tetapi pada kondisi dan situasi tertentu. Apabila dikaji, kondisi kebrutalan OPM sudah tidak bisa lagi ditolelir sehingga harus ditumpas habis agar terciptanya kondusifitas di Tanah Papua. Apabila kondusifitas terjamin, maka pembangunan nasional di Papua juga akan semakin membaik dan maksimal. Demikian tutupnya.