LIPUTAN1, MAKASSAR – Kasus kematian Virendy Marjefy Wehantouw, mahasiswa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas) yang kembali dilaporkan oleh orang tua korban ke SPKT Polda Sulsel dengan Laporan Polisi nomor : LP/B/873/X/2024/SPKT/Polda Sulsel tanggal 01 Oktober 2024, kini mulai ditangani penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulsel, Rabu (09/10/2024).
Penanganan tersebut ditandai dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penelitian (SP2HP) tanggal 08 Oktober 2024 yang ditandatangani Wakil Direktur (Wadir) Ditreskrimum Polda Sulsel, AKBP Amri Yudhi S, SIK, MH. Dalam SP2HP itu antara lain disebutkan, dengan merujuk Surat Perintah Penyelidikan Nomor : SP.Lidik/4162/X/RES.1.24/2024/Krimum tanggal 8 Oktober 2024, disampaikan bahwa laporan telah diterima dan akan dilakukan penyelidikan.
Selain itu disampaikan pula bahwa untuk kepentingan penyelidikan laporan ayah kandung almarhum Virendy yakni James Wehantouw bersama tim kuasa hukumnya dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Makassar, pihak Ditreskrimum Polda Sulsel telah menunjuk penyidik atas nama AKP Muhammad Saleh, SE, MH (Kanit 4 Subdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Sulsel) dan penyidik pembantu Briptu Suardi Ibnu Bahtiar.
Sebagai tindak lanjut penanganan perkara kematian putranya ini, James Wehantouw selaku saksi pelapor dengan ditemani salah seorang kuasa hukumnya, Mulyarman D, SH telah datang memenuhi undangan wawancara klarifikasi perkara ke-1 pada Rabu (09/10/2024) siang bertempat di Ruang Unit 4 Subdit III Jatanras Lt.2 Ditreskrimum Polda Sulsel Jl. Perintis Kemerdekaan KM.16, Makassar.
Dalam wawancara klarifikasi tahap pertama ini, wartawan senior di Makassar dan anggota Dewan Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulsel itu mengemukakan kepada penyidik terkait fakta-fakta baru yang terungkap di persidangan Pengadilan Negeri (PN) Maros saat mengadili terdakwa Ibrahim Fauzi (Ketua UKM Mapala 09 FT Unhas) dan Farhan Tahir (Ketua Panitia Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas).
Wawancara klarifikasi ke-1 tidak berlangsung lama, karena pihak kuasa hukum pelapor maupun penyidik akhirnya sepakat untuk menangguhkan sementara kegiatan penanganan awal ini guna mempelajari berkas putusan PN Maros setebal 207 halaman dalam perkara No : 22/Pid.B/2024/PN Mrs atas nama terdakwa Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir, yang menurut penyidik bahwa putusan itu sebagai dasar dari laporan termaksud.
Sementara itu, Direktur LKBH Makassar, Muhammad Sirul Haq, SH, C.NSP, C.CL selaku Ketua Tim Kuasa Hukum dari James Wehantouw, ketika memberikan keterangan pers kepada media, Kamis (10/10/2024) pagi di Virendy Cafe menyampaikan, sebenarnya laporan kliennya bukan hanya berdasarkan dari putusan PN Maros No : 22/Pid.B/2024/PN Mrs dalam perkara terdakwa Ibrahim Fauzi (Ketua UKM Mapala 09 FT Unhas) dan Farhan Tahir (Ketua Panitia Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas).
“Putusan PN Maros No : 22/Pid.B/2024/PN Mrs itu bukan sepenuhnya menjadi dasar laporan klien kami. Tapi yang dominan menjadi alasan utama bagi ayah almarhum Virendy membuat laporan baru ke SPKT Polda adalah adanya fakta-fakta baru yang terungkap di persidangan dan didengar langsung oleh James beserta isteri, anak, keluarga maupun kerabatnya, pengunjung sidang lainnya hingga wartawan berbagai media yang meliput,” tegas Sirul Haq yang didampingi anggota timnya, Muhammad Amran Hamdy, SH, MM dan Mulyarman D, SH.
Menurut pengacara senior yang dikenal vokal dan gigih membela keadilan hukum bagi masyarakat kecil ini, kliennya mendengar langsung pengakuan beberapa saksi dari kalangan peserta maupun panitia diksar yang menyebutkan di persidangan tentang adanya sejumlah senior Mapala berstatus alumni FT Unhas yang datang ke lokasi diksar dan berperan melakukan evaluasi serta memberikan hukuman fisik kepada peserta hingga bertindak sebagai pemegang/penentu kebijakan/keputusan tertinggi dalam kegiatan itu.
“Fatalnya, kesaksian sejumlah peserta Diksar tersebut mengakui pula adanya tindakan beberapa senior yang telah memberikan hukuman berupa aktivitas fisik berlebihan kepada Virendy saat bersangkutan sudah dalam kondisi drop, lemah hingga tak sadarkan diri. Bukannya memulangkan korban atau membawanya ke rumah sakit/puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan medis, tapi justru masih memberikan hukuman-hukuman fisik. Tindakan tersebut sama saja dengan bentuk penganiayaan terhadap seseorang yang sudah tak berdaya,” lantangnya.
Menyikapi pengakuan saksi-saksi tersebut yang menyebutkan pula sejumlah nama senior, sambung Sirul, ketua majelis hakim Khairul, SH, MH bahkan langsung memberikan perintah kepada jaksa penuntut umum untuk melakukan pengembangan perkara. Namun hingga perkara divonis, pihak jaksa penuntut umum tidak menjalankan perintah termaksud. “Dan ketika soal pengembangan perkara ini ditanyakan oleh klien kami, jaksa memberikan jawaban bahwa hal itu adalah hak dari keluarga almarhum Virendy untuk membuat laporan baru dengan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,” tukasnya.
Dijelaskan Sirul lagi, terkait turut dilaporkannya Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc dan Dekan FT Unhas Prof. Dr. Eng. Ir. Muhammad Isran Ramli, ST, MT, tentunya cukup beralasan hukum. Sebab sebagai pejabat tertinggi di kampus merah tersebut, keduanya merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas kegiatan kemahasiswaan yang telah merenggut nyawa seorang mahasiswanya. Apalagi adanya izin resmi yang dikeluarkan pihak Unhas sehingga hajatan itu bisa terlaksana.
“Rektor Unhas dan Dekan FT Unhas dipandang telah bertindak lalai dengan memberikan izin pelaksanaan kegiatan. Apalagi dalam proses pengajuan izin hingga pelaksanaan kegiatan terdapat banyak pelanggaran hukum, mulai dari jalur/rute perjalanan yang dicantumkan di proposal tidak sesuai pelaksanaannya. Kemudian ada tindak pidana pemalsuan tandatangan Dosen Pembina UKM Mapala 09 FT Unhas di surat permohonan izin kegiatan dan pada surat pernyataan bersedia bertanggung jawab terhadap kegiatan itu,” terangnya.
Selain itu, tambahnya, fatalnya lagi dalam pelaksanaan diksar yang mendapat izin resmi dari kampus, lalu keberangkatan peserta dilepas pejabat FT Unhas dengan seremoni di kampus dan diberangkatkan menggunakan mobil bus milik Unhas, kenyataannya pula pihak panitia tidak membawa tim medis dan perlengkapan kesehatan yang memadai. Juga tidak ada izin atapun melapor ke pihak kepolisian maupun pemerintah daerah setempat yang menjadi lokasi kegiatan.
“Jadi cukup beralasan untuk menyeret Rektor Unhas dan Dekan FT Unhas ke meja hijau sebagai orang paling bertanggung jawab atas kegiatan diksar yang telah merenggut nyawa seorang mahasiswanya. Perlu diketahui pula, sejak kasus kematian Virendy bergulir di kepolisian tahun lalu, tercatat sudah 2 kali Rektor Unhas mengirim utusan menemui klien kami untuk mengajak berdamai dengan meminta laporan perkara dicabut,” beber Sirul lagi.
“Bahkan utusan terakhir sempat mempertemukan keluarga almarhum Virendy dengan sejumlah pejabat Unhas yang diutus Rektor untuk melakukan upaya damai. Pejabat Unhas itu diantaranya Direktur Hukum Unhas Prof Amir Ilyas, Dekan FT Unhas Prof Muhammad Isran bersama para Pembantu Dekan FT Unhas serta Kabag Humas Unhas Ahmad Bahar. Namun upaya damai itu lagi-lagi tidak tercapai,” tandas Sirul mengakhiri keterangannya.
(*)